Warung itu tepat berada di seberang Klenteng Eng An Kiong dan di sebelah Rumah Kematian Panca Budi, tepatnya di jalan Martadinata nomor 66 Malang. Tempatnya tak terlalu besar, hanya berukuran sekitar 5 x 3 meter. Di atas pintu masuk hanya ada plakat nama yang dibuat dari triplek dan tulisan stensil dari cat semprot. Meski begitu, tempat ini selalu penuh dengan pelanggan. Dari depan, semerbak wangi aroma campuran tahu dan telur yang digoreng begitu menggoda. Ada dua jenis menu yang ditawarkan, tahu telur dan tahu saja. Pengiringnya bisa dipilih, ingin menggunakan nasi atau lontong.
Secara fisik tidak terlalu jauh berbeda dari tahu lontong pada umumnya. Dalam satu piring pasti ada kecambah, mentimun, dan kerupuk yang tidak pernah ketinggalan. Tapi, setelah bumbu kacangnya menyentuh lidah barulah terasa perbedaannya. Begitu lembut dan legit, tidak terlalu manis tapi juga tidak hambar. Proses dan penyajian menu yang cepat menjadi nilai lebih dari depot legendaris ini. Inilah mengapa Warung Tahu Lontong Lonceng tetap bertahan dari tahun 1935 hingga sekarang. Kuliner ini sangat cocok dinikmati sebagai makanan utama baik pagi, siang maupun sebagai menu makan malam.
Saat masuk warung kesan legendaris atau tempo dulu akan terasa, terlihat dari perabotan yang ada disana. Saat memilih makanan ternyata harga yang ditawarkan sangat murah untuk ukuran warung yang legendaris, bahkan harganya sama dengan harga makanan sejenis yang dijual rombong keliling. Harga setiap menu yang ditawarkan berkisar antara Rp 6.000-Rp 8.000 saja. Nama Lonceng diadaptasi karena pada awalnya tahu lontong ini berjualan di dekat tugu lonceng, yang merupakan hadiah dari gubernur Karesidenan Belanda. Kini lonceng tersebut telah digantikan oleh tugu kecil dengan jam dinding di atasnya. (berbagai sumber/Foto: Istimewa)

Comments
Post a Comment